Nyanyian Pohon Kehidupan
Nyanyian Pohon Kehidupan

Nyanyian Pohon Kehidupan

Mobil yang dikemudikan Rio melesat membawa kami menyusuri jalanan kecil Kota Kupang. Kupang adalah kota yang hidup, lelah, juga bergairah—meski sarana dan prasarana yang tidak bisa dibandingkan dengan ibu kota provinsi di Jawa—dengan kehidupan jalannya yang begitu intens.

Bemo dengan knalpot yang menggarong di jalanan, sedikit mengingatkan saya akan jalanan di Kota Bogor, meski secara jumlah bemo di sini kalah jauh dibanding angkot yang merayapi urat nadi Bogor. Kata bemo di Kupang merujuk pada angkutan umum yang biasanya memakai jenis mobil Mitsubishi Colt T120ss dan Suzuki Carry 1000, yang didandani layaknya mobil-mobil dekorasi Pimp My Ride

“Bemo di sini, kalau belok bahkan tidak pakai lampu sein,” ucap Oswald menyahuti ocehan saya. Angkutan umum yang satu ini—bemo, angkot, taksi, oplet, atau apapun sebutannya—memang sama seramnya, melibas siapapun yang menghalangi lajurnya. Kami berkeliling hingga ke bagian kota lama Kupang, yang menyisakan mural-mural, gedung tua serta pinggir laut yang mengisahkan gejala kota yang mengalami perubahan zaman.

Tujuannya kami adalah Pulau Sabu. Kupang hanya perhentian selama beberapa jam saja, sebelum kami naik ke kapal yang dijadwalkan berangkat pada malam hari. Oswald dan Rio mengajak kami melihat bagaimana matahari terbenam di Kupang.

Matahari tenggelam di Kupang yang kami lihat, selalu ditemani laut dan satu-dua kapal yang sedang mengangkut kontainer dari dan ke Kupang. Cantiknya, langit tidak hanya berhenti sampai warna jingga tua, melainkan hingga warna agak keunguan. Malam harinya, kami diantar menuju Pelabuhan Helong untuk masuk ke kapal Cantika 9E yang berangkat menuju Sabu pukul 9 malam dan tiba di Pulau Sabu pukul 8 pagi.

Sebagai pelabuhan besar satu-satunya di Pulau Sabu, Pelabuhan Seba sarat akan aktivitas warga/ © Irsyad Saputra

“Sabu apa-apa serba mahal,” terang Kaleb Piga saat mengisi bahan bakar oto yang menjemput kami di pelabuhan. Bensin di sini mahal. Harga standarnya–untuk pertalite—saja sudah menyentuh angka 25 ribu per liter dan beberapa waktu lalu pernah naik hingga 75 ribu per liternya.

“Masyarakat di sini sudah biasa, tidak pernah demo,” ucapnya dengan nada setengah tertawa.

Bayangkan, jika harga tersebut menyentuh orang-orang yang hidup di perkotaan di pulau-pulau besar Indonesia. Paling tidak, demo tidak akan selesai hanya dalam dua jilid.

Oto yang kami tumpangi merambat pelan di jalanan aspal, kemudian harus tergopoh-gopoh menaiki bukit yang berbatu ketika batas aspal sudah mulai pudar. Peradaban berjalan lambat di Sabu, pembangunan mesti menunggu puluhan tahun untuk sekedar mendapatkan jalan beraspal. Apalagi listrik, di Desa Lobohede—desa tempat kami akan menginap—baru ada listrik semenjak 2012.

Internet cepat? Desa ini baru dapat merasakan sinyal 4G pada tahun 2021, sebelumnya, orang-orang sekitar Desa Lobohede harus menempuh 2-kilometer ke atas bukit untuk bisa menikmati internet. “Dulu itu tiap sore sampai malam, orang-orang nongkrong di sana,” seraya menunjuk ke arah bukit yang telah kami lewati.

Kami berhenti tepat di sebuah pekarangan yang luas di depan rumah Kaleb Piga. Sebuah rumah sederhana yang terbuat dari batako menyambut kami, yang berjalan ke dalamnya sambil menggotong tas yang lumayan berat. “Taruh di kamar saja,” Kaleb Piga memberi arahan pada kami. Seorang wanita tua, yang tidak lain adalah ibu dari Kaleb Piga, menyambut kami dengan sepatah kata yang tidak kami mengerti, tapi dari bahasa tubuhnya, wanita itu mengisyaratkan kegembiraan. Panas sudah menjelang suhu tertingginya di Sabu, saatnya kami beristirahat barang sejenak diiringi lantunan sendu angin.

F.H Schmidt dan J.H.A Ferguson yang mengklasifikasikan iklim di Indonesia berdasarkan curah hujan, mengkategorikan Sabu ke dalam skala F, yang berarti termasuk beriklim kering. Berdasarkan catatan Nico L Kana dalam Dunia Orang Sawu, Sabu mempunyai kemarau yang terbilang panjang dengan curah hujan yang sedikit. Saya berdiri dengan sengatan mentari pagi yang membara ke arah dahi, tepat di sebuah tanah lapang dekat rumah Kaleb Piga.

“Tanah dari kepulauan ini hampir seluruhnya diliputi oleh bukit-bukit kapur dan tanah merah yang kurang subur, kecuali sedikit dataran yang sempit dekat pantai di sebelah utara Pulau Sawu. Terdapat beberapa puncak bukit yang menjulang tidak lebih dari ketinggian 250 meter. Tanah kritis dan perbukitan gundul merupakan pandangan mata yang lebih mencolok terutama di sebelah selatan dibandingkan dengan bahagian utara Pulau Sawu,” tulis Nico lebih lanjut dalam disertasinya yang setebal 539 halaman.

Hari-hari di Sabu diisi oleh kambing, anjing, sapi, dan kuda. Beberapa dengan santai menyeberang jalan yang tidak sering dilalui kendaraan. Tahi kambing adalah warna lain di tanah selain warna rumput yang mengering. Gurat senja tidak pernah terkekang mendung dan angin muson timur berhembus di sela-sela tembok rumah Kaleb Piga yang belum diplester. Rumah tipe 36 mulai menggantikan rumah ammu iki, rumah khas Sabu yang semuanya terbuat dari lontar; tiang, dinding, hingga atap. Rumah-rumah di Desa Lobohede lumayan berjarak satu sama lain, sehingga ada ruang yang luas untuk anak-anak bermain. 

Tidak jauh dari sini, sekumpulan anak belajar menari tarian lendo/ledo hawu untuk pementasan acara 17 Agustus mendatang. Dengan masih memakai seragam sekolah, mereka dengan lincah menari diikuti irama gendang dan gong yang bertalu-talu.

Irama gendangnya mengingatkan saya dengan tabuhan genderang para pendukung sepak bola ketika menyaksikan tim kesayangan mereka bertanding. Derap langkah mereka menerbangkan kumpulan tanah gersang. Meski awalnya dimaksudkan sebagai tarian penggiring arwah yang sudah mati untuk menuju nirwana dan hanya dibawakan oleh para bangsawan, dewasa ini pembawaan tarian sudah cukup umum demi mempertahankan kebudayaan Sabu agar lekat di benak generasi penerus.

Gerakan yang apik itu terus menyatu dengan musik yang semakin intens. Hanya tersisa lima hari sebelum pementasan berlangsung. Jelas, dari ritme gerakannya, mereka ingin menampilkan yang terbaik.

Di Sabu, hari-hari berlalu dengan terik yang memanggang di siang hari. Sama seperti di kota, smartphone memegang peranan penting untuk menghubungkan Sabu dengan dunia luar. Orang Sabu tidak ketinggalan untuk tetap mengikuti tren yang terjadi di luar jangkauan mereka—termasuk kasus Sambo, Irjen berdarah dingin yang membunuh sesama anggota Polri.

Untuk berita lokal, mereka mengikuti satu grup Facebook yang cukup aktif memberikan informasi terbaru bagi warga Sabu. Dari sekedar info antrian BBM hingga jadwal kapal. Berita menyebar secepat kilat di pulau yang tidak lebih luas dari Jakarta.

Lobohede tidak pernah kekurangan air. Meski terik membakar peluh dan mengusir hujan, air-air di Lobohede selalu tersedia. Intensitas hujan yang sedikit hanya mempengaruhi rasa dari air yang berubah menjadi sedikit asin. Sumur-sumur bertebaran di sekitar pekarangan warga. Yang jelas, Lobohede hanya kekurangan hujan, bukan kekurangan air.

Patung Yesus yang baru dibangun itu merentangkan tangan, terlihat jelas dari jalanan yang menghadap bandara. Bandara kecil Pulau Sabu melayani berbagai rute dari berbagai daerah di NTT menuju ke Sabu. Pesawat yang digunakan pun pesawat rintisan yang masih memakai baling-baling. Tapi bandar udara itu sangat sepi dibandingkan aktivitas Pelabuhan Seba yang selalu ramai oleh orang-orang yang berjubel keluar masuk kapal.

Penganut Jingitiu Terakhir

Di Sabu, kata kafir melekat pada penganut Jingitiu. Entah kapan kosa kata bahasa Arab tersebut dinisbatkan pada mereka yang belum memeluk agama Kristen. Di Desa Lobohede, hanya ada empat keluarga yang menganut Jingitiu, satu keluarga penganut Katolik, dan sisanya adalah penganut Kristen Protestan. Sedangkan untuk kaum muslim di Lobohede tidak ada. Mereka hanya tersebar di sekitar Pelabuhan Seba dan sebagian besar merupakan orang perantau dari Jawa, Bugis, dan Madura.

Jingitiu sendiri awalnya bukanlah sebuah kepercayaan yang mempunyai nama. Nama Jingitiu disadur dari gentio (yang berarti orang yang diluar kepercayaan kristen) tersebut diberikan Portugis untuk memisahkan penganut Kristen dan penganut kepercayaan lama yang memuja arwah nenek moyang dan alam. Berdasarkan catatan, sebelum tahun 1860, penganut Kristen masih bisa dihitung jari. Barulah pada tahun-tahun berikutnya, usaha misionaris di pulau itu mulai banyak merebak.

Kami mendatangi sebuah rumah sederhana yang dikelilingi oleh rimbunan pohon lontar dan kelapa yang saling bertautan. Seorang bapak tua dengan sarung hijau yang melekat di pinggangnya terlihat bingung dengan kedatangan kami yang didampingi oleh Kaleb Piga.

Berdasarkan petunjuk Kaleb, bapak tua ini merupakan seorang tetua adat yang dihormati dan masih menganut kepercayaan Jingitiu. Seusai bersalaman, kami menuturkan maksud kami ke sini, namun beliau kesulitan untuk memahami apa yang kami ucapkan dalam bahasa Indonesia. Untungnya, Kaleb Piga dengan sigap menerjemahkan kepada bapak tua.

Sepertinya bapak tua ini adalah penggambaran Wallace saat menjumpai beberapa orang kepala suku dari Sabu saat ia berada di Kupang. Wallace menggambarkan mereka berbeda dari ras Melayu atau Papua,dengan hidung mancung bercorak coklat bening. Paras orang-orang Sabu memang lebih condong miri orang-orang India.

Bapak tua itu bernama Kale Lele yang masuk ke dalam salah satu anggota Mone Ama, dewan adat Sabu. “Beliau ini yang menentukan, kalau tanam itu pada hari apa,” terang Kaleb Piga. Saat waktunya telah tiba, Kale Lele akan berjalan kaki berkeliling satu kecamatan, dengan memukul gong tanda dimulainya musim tanam. Kalau sudah begitu, semua orang dipersilahkan menanam apa saja; kacang hijau, sorgum, singkong, dan lainnya.

Kaleb Piga juga menceritakan soal upacara Hole, yang puncaknya adalah proses adat yang melarungkan miniatur perahu ke laut yang diisi dengan ayam yang baru menetas, anak anjing berkisar umur dua bulan, kacang hijau yang ditaruh di dalam ketupat yang terbuat dari daun lontar, sorgum merah. Perahu kayu itu dilarungkan ke arah Pulau Sumba dengan harapan mengusir penyakit dari Pulau Sabu. Ritual ini dilakukan rutin setahun sekali, sekitar bulan Mei pada kalender masehi. Kale Lele jugalah yang memimpin upacara ini bersama tetua adat lainnya.

Seperti yang dikutip oleh Nico L Kana berdasarkan laporan oleh misionaris Belanda kurun waktu 1898-1903, tidak banyak orang Sabu yang tertarik menjadi Kristen. Bahkan sempat pecah konflik yang dipimpin oleh seorang yang bernama Mone Mola yang meluluh lantakkan gereja, sekolah, juga rumah-rumah guru agama. Ia juga menuliskan bagaimana persepsi masyarakat adat yang masih sensitif terhadap agama Kristen saat penelitiannya berlangsung.

Jingitiu yang semula menjadi kepercayaan dominan, juga harus merelakan banyak pengikutnya untuk beralih menjadi Kristen. Di keluarga Kale Lele, hanya ia yang menganut Jingitiu. Anak-anaknya memilih untuk berpindah keyakinan menjadi Kristen.

Bapak tua adat Kale Lele, ketika berperan sebagai manusia biasa, sehari-harinya bekerja mencari ikan dan gurita, juga membuat gula sabu dari air lontar. Setiap paginya, Kale Lele menyiapkan gula sabu yang diambil dari air lontar, yang akan dimasak selama tiga jam. Halena, anak keempat dari Kale Lele mengatakan setiap harinya gula cair yang sudah jadi akan dijual ke pasar, atau ada yang mengambilnya ke rumahnya. Sebagian lainnya disimpan untuk dipakai sendiri.

Bagian yang diambil dari pohon lontar adalah kali banni dan kali mone, sejenis batang yang nanti akan dikupas untuk diambil cairannya langsung dari pohon. Saya membayangkan bapak tua memanjat pohon lontar yang tinggi dengan dariwake (wadah khas Sabu untuk menampung air lontar) yang mengikat di pinggang. Satu pohon bisa menghasilkan sekitar dua jerigen ukuran lima liter. Air dari pohon lontar atau du’e yang didapat itulah yang menjadi cikal bakal gula sabu.

Kale Lele sedang menumbuk sirih pinang. Cucunya yang masih kecil terus mengganggunya dengan mendekap erat tangannya yang kekar. Gigi Kale Lele yang sudah tergerus zaman, harus dibantu sebuah alat untuk menumbuk pinang yang keras.

Kale Lele bersiap memanjat. Kakinya dengan cekatan mengambil kuda-kuda. Pohon setinggi 10 meter itu dipanjat hanya dalam waktu hitungan detik. Sarung tenun Samarinda berwarna hijau dengan aksen kotak-kotak tidak pernah terpisah dari pahanya, ikut bergelanyut terbawa angin dan tenaga yang datang dari kakinya.

Ajo rima leba lara ubu lara meha

Do’anga mata mara dahi tu ya do kehi’a ajo dara damu keri mata

Gel’a djami ina moi dila

Mami moko nga’a mate namone

Do ja’u ru jara.

Robe ngakebe’e hilo nga do mangngu lai

Jaga wada ripi mangu doke hiji howo

Syair-syair terus berkumandang dari mulutnya di ketinggian, bercampur dengan melodi yang dimainkan angin yang terbawa dari pantai. Apa gerangan yang dipikirkan oleh leluhur orang Sabu hingga bisa mewariskan syair indah ini sebagai kebiasaan?

Kaleb Piga kemudian memberitahu saya, bahwa dahulu orang-orang yang naik pohon lontar, bersama-sama menyanyi dari puncak pohon, hingga menimbulkan keramaian di Sabu nan sepi.

Di kesempatan lainnya, saya baru mengetahui harga gula sabu cukup murah dengan bandrol sekitar 100-125 ribu per jerigen. Harga yang murah ini berbanding terbalik dengan harga gula sabu yang dijual di luar pulau, yang harga satu botol ukuran 600 ml setara dengan harga satu jerigen.

Lontar adalah pohon kehidupan Sabu. Sabu adalah pulau sejuta lontar. Gula sabu sudah dikenalkan kepada orang-orang Sabu sejak mereka melihat dunia dari rahim ibunya. Lontar memberikan daun, buah, air, gula, hingga kayu bakar untuk orang-orang Sabu. Sebuah pohon kehidupan yang memberikan segalanya untuk orang Sabu.

Gula sabu sudah dikenalkan kepada orang-orang Sabu sejak mereka melihat dunia dari rahim ibunya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page