Dalam Kungkungan Meratus
Dalam Kungkungan Meratus

Dalam Kungkungan Meratus

Sudah hampir sebulan kabut asap mendera Kalimantan Selatan dan sudah sebulan ini pula kualitas udara memburuk, Kalimantan Selatan menjadi salah satu daerah dengan kualitas udara terburuk di Indonesia—melebihi Jakarta yang selang beberapa bulan lalu dinobatkan sebagai kota paling berpolusi di dunia. Kami berkendara melintasi Margasari yang dikepung si jago merah, yang memakan lahan-lahan hijau, menuju Iyam, sebuah kampung yang berada di Kabupaten Balangan, yang sedang menyelenggarakan aruh ala Meratus (pesta kesyukuran atas hasil panen).

Jalan yang dilalui untuk menuju Iyam mulus beraspal, hampir semulus jalan protokol yang ada di Jakarta. Kontur jalan yang dilalui mayoritas landai dan hanya sesekali berbukit. Pak Hairiyadi dan Erwin melesat dengan ‘Satria Belalang’, meninggalkan saya di belakang yang tergopoh-gopoh memacu motor mengimbangi kecepatan mereka.

Kami sampai di Iyam, salah satu dari lima kampung besar di daerah aliran Sungai Pitap selain Langkap, Ajung, Panikin, dan Kambiyain. Iyam secara administratif berada di Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Balangan dengan luas wilayah kurang lebih sebesar 23.723 hektar. Iyam pada siang hari itu adalah Iyam yang tenang. Sesekali kokok ayam bersahutan dan babi peliharaan yang berkeliaran dari kolong rumah ke kolong rumah lainnya. Para warga sudah mengitari balai, dengan kesibukan masing-masing.

Anang Hakim, seorang kolega kami yang tinggal di Barabai, datang lebih awal dan menemani kami masuk ke balai. Kami diterima serta disambut oleh kepala desa serta para balian dengan percakapan hangat.

“Kalau di sini kami menyebutnya aruh baharin,” ucap kepala desa seraya menjelaskan tata cara ritual yang mereka lakukan.

Aruh baharin adalah syukuran besar yang kerap diadakan setiap tiga tahun sekali. Bagi masyarakat Iyam, aruh baharin adalah perwujudan rasa syukur yang diperoleh atas rezeki yang dikaruniakan kepada mereka dalam bentuk hasil panen. Persembahan ini ditujukan kepada para leluhur, para dewata, dan tentu saja kepada Sang Maha Kuasa.

Balai diisi oleh riuh obrolan para perempuan yang sedang merakit hiasan untuk lalaya—sebutan langgatan untuk daerah sini, begitu juga dengan para lelaki yang membantu pemasangan hiasan. Saya yang sedari tadi mengamati, mulai memberanikan diri bertanya kepada Asman, pemuda 23 tahun yang sedang meniti jalan menjadi seorang balian.

“Kalau ini namanya sangkar batung namanya, kalau ini sangkar buluh…,”Asman sibuk berkicau menerangkan setiap nama-nama benda yang ada di lalaya. Telinga saya sibuk menyimak setiap kosa kata lokal yang ia ucapkan.

Ada 16 keluarga yang mengikuti aruh baharin ini—sesuai penjelasan Asman, hal ini dapat dilihat dari kain-kain yang menggantung di tepi lalaya, di buluh kuning, yang disebut tangkalak.

“Mari makan, beimbai semuanya,” ajak kepala desa dan balian kepada kami. Setiap aruh adalah pesta, dan pesta identik dengan makan-makan. Saya makan dengan lahap, menikmati ayam berkuah bihun yang dihidangkan dalam mangkuk plastik. Semua orang di balai makan dengan bahagia. Kami makan sambil berkicau lagi, masih dalam topik seputaran aruh.

Seperti wilayah Pegunungan Meratus pada umumnya, Iyam juga dialiri oleh sungai yang menjadi nadi para penduduknya. Saya, Erwin, dan Pak Hairiyadi turun ke sungai untuk mandi. Banyak penduduk yang sudah membuat kamar mandi sendiri di dalam rumah masing-masing, tetapi sungai tetaplah sungai, ia menjadi tempat bemain bagi para bocah dan mesin cuci raksasa bagi ibu-ibu, tapi bagi bapak-bapak, ia adalah kloset raksasa yang siap mengalirkan kotoran jauh ke hilir, sebelum berubah menjadi pakan ikan alami.

Seorang wanita paruh baya yang sedang menenteng keranjang, dengan segera membuang isinya ke sungai. Bagi semua daerah di Indonesia, masalah sampah plastik adalah masalah yang cukup serius. Sampah plastik sulit dimusnahkan, tidak ada cara lain di pedalaman selain membakarnya atau membuangnya jauh dari jangkauan pemukiman—melalui sungai.

Kami menikmati senjakala dengan duduk di atas batang pohon tumbang pada bagian sungai yang dangkal dan berbatu. Hal yang paling menyenangkan dari perjalanan menuju pedalaman adalah kami, orang-orang kota yang tamak dengan bising dan keramaian, akhirnya kembali pada fitrah manusia: hening dan sunyi, menghadap pelukan hutan yang masih asri.

Yang Hening dan Tidak Terungkap

Kami masih duduk santai di warung selepas mandi, menyantap mi instan dan telur, sementara Pak Hairiyadi sibuk mengepulkan asap dari tembakau yang ia bakar, memenuhi udara malam di Iyam. Saat ritual aruh diadakan, orang-orang yang tinggal di sekitar balai akan membuka warung untuk berjualan.

Asman yang ikut makan bersama kami di warung, mulai membuka obrolan mengenai adanya orang-orang kerdil dan kampung yang masih mengisolasi diri dari dunia luar.

Mendengar pemaparannya, saya yang tadinya duduk agak renggang, kini mulai merapat. Apa benar masih ada suku tersembunyi di zaman maju yang uang saja mulai kehilangan bentuknya?

“Kami pernah malunta ke Sungai Ka’ar, tiba-tiba mencium bau busuk, ternyata ada belaya yang dibungkus. Itu adatnya di sana.”

“Memangnya belaya itu seperti apa?” tanya Pak Hairiyadi.

“Adat di kita kan kalau ada yang mati dikubur, kalau ini beda, dibungkus dengan tikar kemudian dibuat ke dalam peti lalu ditinggal di hutan, tentunya dimamang terlebih dahulu.”

Meskipun cara penanganan orang matinya berbeda, orang-orang Sungai Ka’ar memiliki bahasa yang sama dengan yang dituturkan oleh orang-orang di daerah Pitap. Mereka tinggal jauh masuk ke pedalaman.

Berbeda lagi dengan daerah Paringsumpit, masih menurut cerita Asman, orang-orang di sana tinggal di tebing-tebing gunung, menuturkan bahasa yang berbeda, dan bakal menyerang siapapun yang masuk ke wilayahnya. Ini mengingatkan saya akan film Cannibal Holocaust yang kontroversial. Imajinasi saya menjadi liar, membayangkan bertemu suku pedalaman yang terisolasi dari kehidupan modern.

Buhannya kemarin ada memesan sumpitan seharga 1,5 juta dari ulin dengan panjang sedepa. Entah bagaimana mereka membuatnya, padahal tidak ada belahannya. Kami bingung cara mereka melubanginya bagaimana.” Kebingungan Asman ini juga diamini oleh teman-temannya.

Kalau sumpit itu dijual, bukankah artinya mereka mengenal uang?

Tidak ada jawaban, semuanya bergeming. Entah tidak tahu, atau tidak mengerti kehidupan bagaimana yang dijalankan oleh orang Paringsumpit.

Kami jadi menduga-duga, apakah mereka orang-orang yang masih menggunakan teknik hidup berburu dan meramu, ataukah mereka sudah mengenal sistem cocok tanam?

Entahlah, Asman juga tidak dapat memastikannya. Yang pasti mereka mengenakan pakaian seperti kita pada umumnya, dan sesekali, pergi ke pasar terdekat yang diadakan tiap hari tertentu.

“Ada aku pernah melihat, celananya celana SD, baju sekolah terus bawa mandau! Orangnya tua tapi masih pakai baju SD.” Asman dengan ekspresif menerangkan detil perkataannya.

Kami terbahak membayangkan bagaimana lucunya orang-orang saat itu melihat cara mereka berpakaian. Pak Hairiyadi mulai menelisik, apakah mereka cuma memakai pakaian di saat ada keperluan ataukah sepanjang waktu?

Tidak ada juga di antara mereka yang bisa menjawab. Sebuah ajakan meluncur dari mulut Asman.

“Kalau kita mau ke sana, harus ke RT dulu. Saya nggak berani mengajak ke sana. Soalnya kalau ke sana, ada sekitar enam lebih sudah yang mati.”

Mati? Memangnya ada apa?

Sesuai namanya, Paringsumpit—yang berarti sumpit bambu— orang-orang di sana menggunakan sumpit beracun untuk menyerang orang yang masuk ke wilayah mereka. Entahlah, apakah mereka mencurigai orang luar yang masuk ataukah penyerangan ini sebagai bentuk pertahanan diri dan kewaspadaan, kami semua tidak bisa mengira motifnya.

Selain menyoal Paringsumpit, ada juga cerita mengenai orang-orang dengan ukuran tubuh yang lebih kecil dari ukuran orang normal. Kebetulan, Anang Hakim, pernah bertemu dengan mereka dalam suatu ritual aruh.

“Saya melihat kerdilnya itu lebih disebabkan oleh stunting saja, bukan seperti dwarfisme. Ukuran tubuh mereka normal, cuma lebih kecil daripada kita yang rata-rata 150-160 cm,” ujarnya.

Meratus memang selalu menyimpan misteri. Pak Hairiyadi, yang sudah lebih dari 30 tahun melakukan penelitian kebudayaan Meratus, merasa masih terlalu banyak hal yang belum terkuak. Semakin banyak kita tahu, semakin sedikit yang kita tahu. Meratus adalah kotak yang selalu menyimpan kejutan di setiap sudutnya.

Ritus Malam Terakhir

Bunyi gong bertautan dengan bunyi kalimpat yang merangkai alunan ritmis, yang menggerakkan kaki-kaki para balian mengitari lalaya. Ada enam balian yang berkumpul, dan satu orang pinjulang yang memimpin ritus kali ini. Para balian dengan khidmat mendengarkan mantra-mantra yang terapal dari mulut pinjulang, kemudian mengulanginya.

Balian dan pinjulang adalah satu kesatuan dalam aruh yang dilaksanakan di daerah Pegunungan Meratus. Kali ini di Iyam, semua baliannya adalah laki-laki, sedangkan pinjulang, tentu saja, pasti perempuan.

Lambat laun, kantuk bertengger di ujung mata, dan daripada duduk termenung, saya mengikuti proses ritual. Oleh seorang balian, saya dipinjamkan sebuah selendang dan dua buah gelang hyang. Saya mulai menggoyangkan gelang hyang, mengikuti irama kaki para balian lainya memutari lalaya, yang disebut sebagai batandik. Doa yang dipanjatkan menembus langit-langit balai dan merayap bersama udara dingin menuju langit ketujuh. Ritual dilakukan terus menerus hingga menjelang dini hari.

Siang merangkak kepayahan menuju langit yang berkabut, namun sinarnya tetap menembus langit Iyam dengan lantang. Hampir seluruh penduduk bergotong royong membuat sesuatu untuk malam puncak aruh baharin.

Para lelaki sibuk membakar bambu untuk lemang, menyembelih ayam, dan menata dekorasi. Para perempuan sibuk membuat masakan untuk santapan para tamu-tamu aruh, juga menyiapkan sesaji yang akan didoakan malam ini.

Malam terakhir aruh dimulai dengan ritus batajak tihang layar. Ini merupakan salah satu rangkaian aruh sebagai wujud penunaian janji kepada leluhur, para roh-roh keramat, para dewata, dan penguasa alam semesta. Sebuah tiang bambu digunakan sebagai simbolik dari tihang layar, dengan kain kuning yang menggantung, serta diperlengkapi dengan sesajian di sekitarnya. Para balian membaca mantra dan tabuhan kalimpat mengiringi dengan irama yang padu.

pelaksanaan ritus batajak tihang layar di iyam
Para balian berkumpul untuk pelaksanaan ritus batajak tihang layar, masih dalam rangkaian aruh baharin/ © Irsyad Saputra

Ritus terakhir, sesajian dalam segala bentuk rupa—adonan tepung yang dibentuk menyerupai manusia, ayam bakar, buah kelapa, nanas—dikumpulkan dalam sebuah wadah yang bernama ancak, dibacakan mantra dan dibawa ke arah hutan. Ancak kemudian digantung pada sebuah pohon di ujung kampung, pertanda gelaran aruh sudah selesai.

Godaan ayam bakar rupanya tidak mampu ditahan para pengarak sesajiaan yang mayoritas anak muda. Mereka membagikannya dan memakannya dengan lahap. Begitulah esensi dari sesaji, secara konseptual ia adalah persembahan untuk entitas yang tidak terlihat, secara faktual sebagian sesajian dibagikan kembali kepada para warga yang mengikuti aruh. Sayang, Pak Hairiyadi yang mendapat demam tidak dapat mengikuti prosesi aruh hingga selesai.

Keesokan paginya, ketika matahari mulai memberi salam pada wajah-wajah yang dikungkung ngantuk dan lelah dari sisa aruh semalam, kami berpamitan, memberi salam pada semua kepala yang beringsut di pelataran rumah. Balai masih dipenuhi sisa keramaian aruh, tapi hari ini, semua undangan telah pergi, semua keramaian telah menjauh dari Iyam. Iyam kembali pada fitrahnya sebagai kampung yang dipagut sepi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

You cannot copy content of this page